Tuesday, 1 July 2014

Dua cara menentukan awal Ramadhan

Dua cara menentukan awal Ramadhan



Para ulama berselisih pendapat di dalam menentukan awal bulan Ramadhan apakah dengan cara melihat bulan langsung (rukyat) atau dengan cara hisab.

Rukyat

Pendapat Pertama mengatakan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan cara melihat bulan secara langsung (rukyat) dan tidak boleh menggunakan hisab. Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf, termasuk di dalamnya Imam Madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad).

Dalil mereka adalah sebagai berikut :

1. Sabda Rasulullah saw :

لا تصوموا حتى تروا الهلال ، ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غمى عليكم فاقدروا له. و في رواية  فاقدروا له ثلاثين

” Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga-puluh.” (HR Muslim)

2. Sabda Rasulullah saw :

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

“Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Sabda Rasulullah saw:

إذا رأيتم الهلال فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا

” Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) , maka berpuasalah, dan jika kalian melihat hilal ( Syawal ), maka berbukalah.” (HR Muslim).

Artinya hadits di atas adalah  untuk menentuan awal bulan, umat Islam tidak diwajibkan untuk mempelajari ilmu hisab. Karena Allah telah memberikan cara yang lebih mudah dan bisa dilakukan oleh banyak orang, yaitu rukyat.

Ini  bukan berarti umat Islam dilarang mempelajari ilmu tersebut, karena Allah swt telah memerintahkan kepada umatnya agar selalu menuntut ilmu pengetahuan selama hal itu membawa maslahat dalam kehidupan manusia ini.  Akan tetapi maknanya bahwa ajaran Islam ini mudah dan bisa dicerna oleh semua kalangan, dan bisa dipraktekan oleh semua orang.

Hisab



Selain itu di dalam ilmu hisab (ilmu falak) telah terjadi perbedaan pendapat yang sangat banyak. Ada yang menetapkan  bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari  setelah terjadi ijtima’.

Sebagian yang lain menetapkan bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ ditambahkan bahwa pada saat terbenam matahari tersebut, Hilal (bulan) sudah wujud di atas ufuk. Ini sering disebut dengan  model “ wujudul hilal.”

Bahkan ada kelompok yang mensyarakatkan wujud bulan di atas ufuk tersebut dengan  imkanur rukyat (berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal dirukyat).

Kelompok yang menggunakan model  “imkanu al rukat” inipun berbeda pendapat di dalam menentukan batasannya. Ada yang memegang dengan batasan 2 derajat, ada yang memakai 5 derajat. Dan banyak lagi perbedaan-perbedaan yang tidak mungkin diungkap di sini.

Inilah mengapa umat Islam di Indonesia belum bisa bersatu di dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal, karena masing-masing dari aliran ilmu hisab (ilmu falak) memegang prinsipnya dan merasa paling benar, sehingga tidak mau mundur sedikitpun demi persatuan umat. Wallahu Musta’an.

Untuk mengurangi perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam dalam menyikapi perbedaan cara menentukan awal bulan tersebut, para ulama menfatwakan bahwa sebaiknya umat Islam mengikuti awal bulan Ramadhan dan Syawal yang telah ditentukan oleh pemerintah dalam negara  masing-masing.

Untuk negara Indonesia umpamanya, hendaknya seluruh rakyat mengikuti apa yang telah diputuskan pemerintah dalam hal ini Departemen Agama. Itu semua demi maslahat persatuan.

Menentukan awal Ramadhan

Syariat telah menetapkan bahwa untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan itu dengan 2 cara:

Ru’yatul hilal (melihat hilal dengan mata). Hilal adalah fase paling awal dari kemunculan bulan. Oleh karena itu hilal berupa garis tipis yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Namun para ulama membolehkan menggunakan teropong atau alat bantu lainnya untuk membantu melihat keberadaan hilal.
Jika hilal tidak nampak, bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari.
Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :

صوموا لرؤيَتِهِ وأفطِروا لرؤيتِهِ ، فإنْ غبِّيَ عليكم فأكملوا عدةَ شعبانَ ثلاثينَ

“Berpuasalah karena melihatnya (hilal), berbukalah karena melihatnya (hilal), jika penglihatan kalian terhalang maka sempurnakan bulan Sya’ban jadi 30 hari” (HR. Bukhari 1909, Muslim 1081)

Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

لا تصوموا حتى تروه، ولا تفطروا حتى تروه

“Janganlah berpuasa sampai engkau melihat hilal, janganlah berlebaran hingga engkau melihat hilal” (HR. Muslim 1080)

Para ulama telah ber-ijma‘ bahwa dua metode ini lah yang dipakai, dan mereka tidak pernah memperselisihkan lagi. Atau dengan kata lain, ini bukanlah perkara khilafiyah di kalangan para ulama, walaupun banyak disangka sebagai perkara khilafiyah oleh orang-orang awam. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, Fathul Baari (4/123), mengatakan:

وقال ابن الصباغ أما بالحساب فلا يلزمه بلا خلاف بين أصحابنا قلت ونقل بن المنذر قبله الإجماع على ذلك فقال في الأشراف صوم يوم الثلاثين من شعبان إذا لم ير الهلال مع الصحو لا يجب بإجماع الأمة

“Ibnu As Sabbagh berkata: ‘Adapun metode hisab, tidak ada ulama mazhab kami (Maliki) yang membolehkannya tanpa adanya perselisihan‘. Sebelum beliau, juga telah dinukil dari Ibnul Mundzir dalam Al Asyraf: ‘Puasa di hari ketiga puluh bulan Sya’ban tidaklah wajib jika hilal belum terlihat ketika cuaca cerah, menurut ijma para ulama‘”

Syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rays hafizhahullah menyatakan: “orang-orang membuat metode baru dalam masalah ini, yang tidak diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu menjadikan hisab falaki (perhitungan astronomis) sebagai acuan untuk menentukan awal bulan Ramadhan. Penggunaan metode ini dalam hal menentukan 1 Ramadhan adalah metode yang baru yang bid’ah dan haram hukumnya, disebabkan beberapa hal di bawah ini:

Pertama, metode ini bertentangan dengan banyak nash yang membahas tentang cara menentukan masuknya Ramadhan, yaitu dengan salah satu dari dua cara di atas

Kedua, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, para sahabat beliau dan para tabi’in, tidak pernah menggunakan metode ini padahal ilmu hisab falaki sudah ada di masa mereka. Kaidah mengatakan, setiap sarana yang mampu dimanfaatkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam namun mereka tidak memanfaatkannya, maka hukum memanfaatkan sarana tersebut di zaman ini adalah bid’ah. Sebagaimana sudah dijelaskan oleh Syaikhul Islam di kitabnya, Iqtidha Shiratil Mustaqim.

Ketiga, para ulama telah ber-ijma‘ untuk tidak menggunakan metode hisab falaki dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Sebagaimana yang dikatakan Ibnul Mundzir dan Ibnu As Sabbagh yang disebut oleh Ibnu Hajar di atas, juga Ibnu ‘Abdil Barr, Abul Walid Al Baaji dan Ibnu Taimiyah” (dikutip dari al-sunna.net).

Oleh karena itu saudariku, dalil sudah shahih dan jelas, ulama pun sudah ijma‘, maka hendaknya dalam masalah ini kita singkirkan fanatisme kelompok dan opini-opini dan pasrah untuk menerima dalil.

Mengikuti pemerintah dalam penentuan awal Ramadhan

Saudariku, Islam adalah agama yang mengajarkan untuk bersatu dan tidak berpecah belah, maka Islam pun memerintahkan untuk taat pada pemerintah selama mereka Muslim dan bukan dalam perkara maksiat. Demikian juga dalam penentuan awal Ramadhan, dengan taat pada keputusan pemerintah, akan dicapai persatuan dalam hal ini. Dan sikap inilah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

‘Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih‘” (HR. Tirmidzi 632, Syaikh Al Albani berkata: “Sanad hadits ini jayyid” dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 1/440).

Dalam lafadz yang lain:

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ , وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ

“Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka”

At Tirmidzi setelah membawakan hadits ini ia berkata: “Hadits ini hasan gharib, sebagian ulama menafsirkan hadits ini, mereka berkata bahwa maknanya adalah puasa dan berlebaran itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas manusia”.

As Sindi menjelaskan, “Nampak dari hadits ini bahwa urusan waktu puasa, lebaran dan idul adha, bukanlah urusan masing-masing individu, dan tidak boleh bersendiri dalam hal ini. Namun ini adalah urusan imam (pemerintah) dan al jama’ah.

Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk tunduk kepada imam dan al jama’ah dalam urusan ini. Dari hadits ini juga, jika seseorang melihat hilal namun imam menolak persaksiannya, maka hendaknya orang itu tidak menetapkan sesuatu bagi dirinya sendiri, melainkan ia hendaknya mengikuti al jama’ah” (Hasyiah As Sindi, 1/509).

Hal ini juga sebagaimana yang dipraktekan di zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dimana beliau berlaku sebagai kepala pemerintah. Sahabat Ibnu Umar radhiallahu’anhu berkata:

تَرَائِى النَّاسُ الْهِلَالَ، فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

“Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa” (HR. Abu Daud no. 2342, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Hadits Ibnu Umar di atas menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa diserahkan kepada pemerintah bukan diserahkan kepada masing-masing individu atau kelompok masyarakat.

Hal ini juga dalam rangka mengikuti firman Allah Ta’ala :

أطِيعُوا الله وأطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولى الأمْرِ مِنْكُمْ

“Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri kalian” (QS. An Nisa: 59)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

اسمعوا وأطيعوا فإنما عليكم ما حملتم وعليهم ما حملوا

“Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim 1846)

Oleh karena itu saudariku, hendaknya demikian yang kita amalkan, yaitu taat pada keputusan pemerintah dalam penentuan awal bulan Ramadhan. Walhamdulillah, negeri kita penguasanya Muslim dan juga selalu menggunakan ru’yatul hilal dalam menentukan awal Ramadhan. Dengan demikian amalan kita sesuai dengan dalil-dalil syar’i dan juga terwujudlah persatuan ummat. Utamakanlah persatuan ummat daripada pendapat-pendapat individu dan golongan.

Demikian bahasan yang singkat ini, semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua sehingga bisa menjadi hamba-hamba-Nya yang mendapatkan ridha-Nya. Wabillahit Taufiq Wa Sadaad.. Wallahu A’lam…


No comments:

Post a Comment